r.
Ia adalah seorang wanita yang tangguh, tegar dan teguh dalam mempertahankan pendirian dan prinsipnya demi menjaga tanah air dari segala macam penjajahan. Pantang menyerah itulah yang tertanam kuat dalam dirinya. Semangat juangnya yang tak kenal menyerah mampu membuat lawan gentar dan segan terhadapnya.
Ketika Teuku Umar meninggal dalam pertempuran, Cut Nyak Dien memimpin peperangan dan melanjutkan perjuangan suaminya untuk mempertahankan tanah air ini dari serangan kolonial Belanda. Meskipun keadaannya sangat memprihatinkan namun Cut Nyak Dien lebih memilih berperang melawan Belanda daripada menyerah.
Pada awalnya laskar yang dipimpin Cut Nyak Dien masih cukup banyak, namun lama kelamaan jumlah ini menyusut ditambah faktor kondisi alam, persediaan makanan dan kesehatan Cut Nyak Dien yang terus memburuk. Penyakit encoknya yang kian parah dan matanya yang rabun bahkan terancam kebutaan, tak menyurutkan semangatnya untuk terus memimpin perlawanan terhadap penjajahan.
Melihat keadaan Cut Nyak Dien yang semakin parah, membuat tangan kanannya Pang Laot akhirnya membocorkan rahasia tempat persembunyian Cut Nyak Dien tanpa sepengatahuan wanita itu. Dengan syarat agar Cut Nyak Dien tidak diasingkan dan keluar dari tanah rencong dan mendapat perawatan kesehatan agar penyakitnya dapat disembuhkan serta diperlakukan secara baik dan terhormat. Pihak lawan pun menyetujuinya.
Belanda sendiri pun mengakui bahwa Cut Nyak Dien adalah wanita yang sangat luar biasa. Meski telah tertangkap semangat juangnya tak pernah berkurang. Karena animo rakyat aceh yang besar melihat pemimpin mereka berada di Banda Aceh membuat mereka beramai-ramai datang menjenguk. Inilah yang membuat penguasa setempat khawatir benih perlawanan kembali bersemi.
Belanda mengingkari janji. Atas keputusan Gubernur Van Daalen, Cut Nya Dien diasingkan ke Sumedang, Jawa Barat untuk mencabut akar perjuangannya. Ditempat inilah Belanda menutup indentitasnya sehingga masyarakat sekitar tak pernah tahu bahwa wanita yang diasingkan itu adalah pemimpin perjuangan dari Aceh
Bupati Sumedang, Pangeran Aria Suria Atmaja tidak tega menempatkan wanita itu dalam penjara. Akhirnya ia diserahkan kepada keluarga KH Sanusi, ulama besar Masjid Agung Sumedang yang rumahnya dibelakang persis masjid. Karena rumah KH Sanusi tengah diperbaiki maka Cut Nyak Dien dititipkan pada keluarga H Ilyas kurang lebih selama tiga minggu. Rumah inilah yang sekarang dipasangi plang "Bekas Rumah Tinggal Cut Nyak DIen". Menurut keterangan Cut Nyak Dien tinggal di rumah KH Sanusi hingga akhir hayatnya.
Selama tinggal di pengasingannya Cut Nyak Dien sangat dekat dengan Siti Hodijah, cucu dari KH Sanusi yang baru berusia 16 tahun. Hodijahlah yang menerjemahkan pelajaran mengaji yang diberikan oleh Cut Nyak Dien kepada ibu-ibu warga kaum dan masyarakat Sumedang lainnya. Tak ada satupun masyarakat Sumedang yang mengetahui bahwa wanita tua yang sudah tak mampu melihat itu adalah pemimpin pejuang rakyat aceh yang sangat ditakuti Belanda.
Pangeran Aria Suria Atmaja memberinya nama Ibu Prabu. Tak dapat dipungkiri bahwa peranan ibu Prabu terhadap masyarakat sumedang khususnya kaum wanita dalam pendidikan agama begitu besar. Pada 6 November 1908 Ibu Prabu meninggal dan dimakamkan di Gunung Puyuh, Sumedang. Menurut penjaga makam, makam Cut Nyak Dien baru ditemukan pada tahun 1959 atas permintaan Gurbenur Aceh Ali Hasan. Pencarian dilakukan berdasarkan data yang ditemukan di Belanda. Dari sinilah masyarakat baru mengetahui setelah bertahun-tahun bahwa Ibu Prabu yang mereka kenal adalah pahlawan wanita dari Aceh
Ketika Teuku Umar meninggal dalam pertempuran, Cut Nyak Dien memimpin peperangan dan melanjutkan perjuangan suaminya untuk mempertahankan tanah air ini dari serangan kolonial Belanda. Meskipun keadaannya sangat memprihatinkan namun Cut Nyak Dien lebih memilih berperang melawan Belanda daripada menyerah.
Pada awalnya laskar yang dipimpin Cut Nyak Dien masih cukup banyak, namun lama kelamaan jumlah ini menyusut ditambah faktor kondisi alam, persediaan makanan dan kesehatan Cut Nyak Dien yang terus memburuk. Penyakit encoknya yang kian parah dan matanya yang rabun bahkan terancam kebutaan, tak menyurutkan semangatnya untuk terus memimpin perlawanan terhadap penjajahan.
Melihat keadaan Cut Nyak Dien yang semakin parah, membuat tangan kanannya Pang Laot akhirnya membocorkan rahasia tempat persembunyian Cut Nyak Dien tanpa sepengatahuan wanita itu. Dengan syarat agar Cut Nyak Dien tidak diasingkan dan keluar dari tanah rencong dan mendapat perawatan kesehatan agar penyakitnya dapat disembuhkan serta diperlakukan secara baik dan terhormat. Pihak lawan pun menyetujuinya.
Belanda sendiri pun mengakui bahwa Cut Nyak Dien adalah wanita yang sangat luar biasa. Meski telah tertangkap semangat juangnya tak pernah berkurang. Karena animo rakyat aceh yang besar melihat pemimpin mereka berada di Banda Aceh membuat mereka beramai-ramai datang menjenguk. Inilah yang membuat penguasa setempat khawatir benih perlawanan kembali bersemi.
Belanda mengingkari janji. Atas keputusan Gubernur Van Daalen, Cut Nya Dien diasingkan ke Sumedang, Jawa Barat untuk mencabut akar perjuangannya. Ditempat inilah Belanda menutup indentitasnya sehingga masyarakat sekitar tak pernah tahu bahwa wanita yang diasingkan itu adalah pemimpin perjuangan dari Aceh
Bupati Sumedang, Pangeran Aria Suria Atmaja tidak tega menempatkan wanita itu dalam penjara. Akhirnya ia diserahkan kepada keluarga KH Sanusi, ulama besar Masjid Agung Sumedang yang rumahnya dibelakang persis masjid. Karena rumah KH Sanusi tengah diperbaiki maka Cut Nyak Dien dititipkan pada keluarga H Ilyas kurang lebih selama tiga minggu. Rumah inilah yang sekarang dipasangi plang "Bekas Rumah Tinggal Cut Nyak DIen". Menurut keterangan Cut Nyak Dien tinggal di rumah KH Sanusi hingga akhir hayatnya.
Selama tinggal di pengasingannya Cut Nyak Dien sangat dekat dengan Siti Hodijah, cucu dari KH Sanusi yang baru berusia 16 tahun. Hodijahlah yang menerjemahkan pelajaran mengaji yang diberikan oleh Cut Nyak Dien kepada ibu-ibu warga kaum dan masyarakat Sumedang lainnya. Tak ada satupun masyarakat Sumedang yang mengetahui bahwa wanita tua yang sudah tak mampu melihat itu adalah pemimpin pejuang rakyat aceh yang sangat ditakuti Belanda.
Pangeran Aria Suria Atmaja memberinya nama Ibu Prabu. Tak dapat dipungkiri bahwa peranan ibu Prabu terhadap masyarakat sumedang khususnya kaum wanita dalam pendidikan agama begitu besar. Pada 6 November 1908 Ibu Prabu meninggal dan dimakamkan di Gunung Puyuh, Sumedang. Menurut penjaga makam, makam Cut Nyak Dien baru ditemukan pada tahun 1959 atas permintaan Gurbenur Aceh Ali Hasan. Pencarian dilakukan berdasarkan data yang ditemukan di Belanda. Dari sinilah masyarakat baru mengetahui setelah bertahun-tahun bahwa Ibu Prabu yang mereka kenal adalah pahlawan wanita dari Aceh
2 comments:
Keep posting for Sumedang!
nice blog...
salam dari,
sumedangdailyphoto.com
tank's for your visit......
Post a Comment